Jelajah Budaya: Mengenal Raja dan Aceh Masa Lalu

Batu-batu nisan di komplek makam di Kandang / @AtinRYOleh Uzlifatil Jannah
Masih dalam kesempatan yang sama, kegiatan Jelajah Budaya Aceh (JBA) 2013 juga mengajak peserta untuk mengunjungi beberapa makam raja-raja yang berada di komplek Makam Tuan di Kandang yang berada tidak jauh dari titik nol gampong Pande, Banda Aceh.
Disini pun peserta bisa melihat dan menemukan beberapa jenis batu nisan peninggalan beberapa ratus tahun lalu, seperti bentuk nisan yang berjenis plang pleng, jenis pipih, pipih bersayap, dan balok persegi delapan yang semuanya itu mempunyai makna dan arti tersendiri serta mempunyai nilai sejarah.
Komplek makam Tuan di Kandang / @AtinRYLalu peserta kembali diajak untuk mengunjungi situs budaya lainnya, yaitu makam raja-raja di Gampong Pande, yang tidak begitu jauh dengan  makam Putroe (Putri) Ijo dan makam Sultan Firmansyah yang masih berada di kawasan yang sama.
Nisan-nisan para ulama di Gampong Pande / @AtinRY
Nisan-nisan para ulama di Gampong Pande / @AtinRY
Perjalanan dilanjutkan kembali, peserta diajak menyisiri pesisir pantai dimana makam para ulama berada. Kami menemukan batu nisan bersegi delapan yang menandakan bahwa yang terkubur disana adalah jasad para ulama. Kami masih bisa melihat beberapa batu nisan diantara genangan air. Daerah ini sudah mengalami abrasi besar-besaran. Disini juga kami menemukan pecahan-pecahan keramik.
Matahari pun kian terik, kami pun juga istirahat sejenak, tak lama berselang peserta Jelajah Budaya diajak menyusuri jejak pusat perekonomian masa lampau, dimulai dengan Peunayong. Daerah ini merupakan daerah persinggahan dulunya bagi orang-orang pendatang yang hendak melakukan bisnis dengan Aceh.
Lampu hias di Masjid Baiturrahim Ulee Lheue yang menjadi saksi tsunami tahun 2004 silam / @AtinRY
Lampu hias di Masjid Baiturrahim Ulee Lheue yang menjadi saksi tsunami tahun 2004 silam / @AtinRY
Melanjutkan perjalanan peserta diajak mengunjungi Masjid Raya Baiturrahman, walau hanya sempat singgah sebentar namun di dalam bus, pemandu kami Ibu Laila dari Disbudpar terus menjelaskan asal muasal, sejarah, juga filosofi dari mesjid Raya Baiturrahman ini.
Kemudian di Mesjid Baiturrahim, Ibu Laila menjelaskan tentang bangunan mesjid yang masih bisa dilihat sisa-sisa bentuk bangunan masa lalu, juga ada lampu hias yang masih asli yang bisa di jumpai disini.
Dari sini peserta menuju ke makam Poteumeuruhom yang berada di daerah Pango, letaknya agak sulit untuk ditemukan atau diketahui dikarenakan sudah dikelilingi oleh perumahan penduduk.
Komplek makam Poteumeureuhom / @AtinRYDari sini peserta kembali menuju mesjid tuha Ulee Kareng, peninggalan para ulama yang telah berdiri sejak abad ke-18. Keadaannya sangat memprihatinkan dimana mesjid yang masih terjaga keasliannya ini tidak dipugar secara khusus namun dibiarkan terlantar tanpa ada perhatian yang begitu berarti.
De Javache Bank atau kini dikenal dengan gedung Bank Indonesia / @AtinRYKunjungan pertama pada hari ke 3 adalah gedung Bank Indonesia, disini Pak Johansyah menjelaskan bahwa BI yang merupakan bangunan Belanda ini dulunya disebut dengan nama de javache bank. Yang dibangun seputaran Krueng Aceh sekitar tahun 1981.
Masyarakat Lubuk Sukon memperlihatkan cara bemain rapai / @AtinRY
Setelah ini peserta JBA menuju desa wisata Lubuk Sukon di Kecamatan Ingin Jaya, Aceh Besar. Disinilah kami melihat bagaimana masyarakat yang masih begitu kental dengan nilai-nilai tradisional, semisal  rumah-rumah yang masih didominasi dengan bentuk rumoh Aceh, mempertahankan pagar rumah dari pohon tehnya. dan beragam keunikan lainnya. Disini kami sempat mempelajari bagaimana memainkan rapai, sebagai salah satu kesenian Aceh yang telah lama terkenal dan masih dilestarikan oleh masyarakat setempat. (selesai)
*Salah satu anggota Jelajah Budaya Aceh perwakilan dari Komunitas @iloveac

0 komentar: